Jakarta Tipikornews.com - Proyek pembangunan ruko yang berlokasi di Villa Artha Gading F. 36, RT 05 RW 21, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, menjadi sorotan publik. Proyek ini terdiri dari tiga unit ruko yang hendak digabungkan menjadi satu bangunan setinggi lima lantai.
Dilansir oleh tim investigasi lapangan, FR, AR, dan YH, yang berinteraksi langsung dengan pelaksana proyek, YN, diketahui bahwa proyek ini telah dikenai segel merah oleh pihak Kecamatan Kelapa Gading.
Segel tersebut diberikan oleh petugas Cipta Karya dan Tata Ruang, yaitu Benny Chris dwi cahyadi, Teddy, Trimo, Budi, dan Ayu, karena proyek tersebut dinyatakan ilegal dan tidak memiliki izin resmi (Non-SK PBG).
Menurut YN, segel merah diberikan karena proyek ini tetap dilaksanakan meskipun sudah mendapatkan Surat Peringatan (SP) dari pihak berwenang. Kegiatan pembangunan dilakukan atas perintah manajemen Ruko Artha Gading, yaitu Prospero by Livin, yang diwakili oleh saudara Riki.
Proyek pembangunan Ruko Artha Gading tersebut untuk sementara dihentikan. Hal ini dikarenakan adanya permintaan anggaran izin yang dinilai tidak wajar oleh pihak pemilik bangunan, Pak Eddy Eng Lie.
Menurut keterangan pelaksana proyek, YN, permintaan anggaran untuk izin yang awalnya diperkirakan sebesar Rp60 juta, mendadak membengkak hingga mencapai Rp150 juta atau lebih. Bahkan, disebutkan bahwa peningkatan tersebut terkait dengan dugaan pelanggaran yang dimanfaatkan untuk menaikkan nilai anggaran.
"Pak Eddy merasa keberatan dengan angka fantastis tersebut, dan merasa seperti dirampok oleh oknum petugas tata ruang bernama Benny dan Teddy, yang secara langsung meminta nominal tersebut," ungkap YN pada Jumat, 8 November 2024, pukul 15.10 WIB.
Selain itu, informasi dari petugas keamanan di lokasi ruko mengungkapkan bahwa para pekerja proyek hanya terlihat bekerja pada hari Sabtu dan Minggu, sementara tidak ada aktivitas pembangunan pada hari kerja. Upaya untuk mengonfirmasi hal ini kepada pihak terkait pun menemui kendala. Kantor ruang kerja kedua petugas tersebut yang didatangi sejak Rabu, 20 November 2024 hingga Senin, 25 November 2024, pukul 15.12 WIB, tidak memberikan respons. Mereka disebut menghindar dan terkesan mengabaikan tanggung jawab atas dugaan gratifikasi serta permintaan anggaran yang fantastis tersebut.
Kasus ini telah menarik perhatian Tim Investigasi Lembaga KPK Nusantara dan Tim Media DKI, yang turut menyelidiki dan mendalami dugaan tindak pidana korupsi yang mencoreng integritas tata ruang.Kami akan terus memantau perkembangan kasus ini dan memberikan pembaruan informasi lebih lanjut kepada masyarakat.
Ketua sejumlah organisasi, termasuk Lembaga DKI, KPK Nusantara, LSM GEPRINDO, Sekjen LBH RKN DKI, Ketua Harian GRIB Utara, dan GAAS (Gerakan Advokat & Aktivis), menyampaikan kritik tajam terhadap kinerja oknum pejabat di lingkup Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan, khususnya terhadap Kasudin Tata Ruang Jogi Hadjudanto dan Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Marullah Matali.
Menurut mereka, oknum seperti Benny sejak di Kecamatan Ciracas dan Teddy, mantan pejabat Tata Ruang di Penjaringan, diduga kerap meminta nilai besar sebagai syarat administratif. Apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi, bangunan akan disegel menggunakan segel merah. Namun, segel tersebut tidak dipasang di ruang publik sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Pergub No. 128.
“Praktik ini menunjukkan indikasi penyalahgunaan wewenang. Segel merah yang seharusnya digunakan sesuai regulasi malah disalahgunakan. Padahal, segel ini merupakan barang milik kas daerah yang dibiayai oleh rakyat,” tegas FM, Ketua Lembaga DKI KPK Nusantara.
Lebih lanjut, FM mengutip beberapa peraturan yang relevan, seperti PP No. 21 Tahun 2021 Pasal 189 Ayat 1 dan UU No. 6 Tahun 2023 Pasal 24 Angka 38 Ayat 2, yang mengatur tentang PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Menurutnya, peraturan tersebut sering kali hanya menjadi komoditas jual beli oleh oknum petugas di lapangan.
“Dinas terkait dan DPRD Provinsi DKI Jakarta harus mengevaluasi kinerja oknum yang terlibat serta memperhatikan potensi penyimpangan yang negatif. Produk aturan seharusnya tidak dijadikan alat kepentingan pribadi,” tambahnya.
FM menegaskan pentingnya tindakan tegas dari pihak berwenang untuk mengevaluasi kinerja para pejabat terkait agar bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka. Langkah ini dinilai krusial demi menjaga integritas birokrasi dan memastikan pelayanan publik yang bersih dan transparan. Tim Red
0 Komentar