Oleh: Arham MSi La Palellung (Ketua Umum Lembaga Kajian dan Advokasi HAM Indonesia)
Tipikornews.id - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, baik pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, maupun pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, tak lama lagi akan digelar. Beberapa bulan yang lalu telah memasuki tahapan Pilkada dan beberapa hari kedepan akan memasuki tahapan pendaftaran calon.
Sudah lazim dalam setiap pelaksanaan demokrasi lokal, ritual pasangan kandidat seringkali menggunakan cara-cara preman untuk memenangkan pertarungan. Tak peduli cara haram atau halal, melanggar hukum ataupun tidak, yang penting menang. Itulah model penjahat demokrasi yang sering berpura-pura menjadi pengkutbah demokrasi.
Sehingga jikalau penjahat demokrasi ini beraksi, harapan seluruh masyarakat untuk memperoleh pemimpin daerah yang berkualitas, berintegritas, punya kapabilitas, memiliki kejujuran, dan dapat memegang amanah, pupus karena cara-cara preman ini belum dapat diatasi pihak penyelenggara dan pihak keamanan.
Singkatnya, cara-cara preman tumbuh subur dalam setiap gelaran Pilkada terutama disebabkan penegakan hukum yang masih lemah, tidak tegas, dan bahkan sering tebang pilih. Ditambah lagi sikap permisif sebagian masyarakat, maka jadilah demokrasi lokal ini sebagai demokrasi para penjahat.
Salah satu cara preman yang masih awet berlangsung sampai saat ini adalah politik uang dan melakukan intimidasi terhadap masyarakat terutama masyarakat pinggiran untuk memilih pasangan calon tertentu. Politik uang merupakan kejahatan demokrasi, bahkan merusak demokrasi itu sendiri.
Sebenarnya, sangat jarang pasangan kandidat dalam Pilkada yang memiliki kekayaan sebanyak yang dibutuhkan dalam hajatan Pilkada, tetapi kandidat menggunakan cara lain, yakni dengan menggadaikan daerah, bahkan menjual daerah kepada cukong dari luar.
Sehingga, sebelum pencoblosan, daerah tersebut sudah tergadai kepada cukong. Alhasil, setelah Pilkada, pengusaha terutama kontraktor, pegawai dan masyarakat, tidak akan mendapatkan apa-apa karena daerahnya sudah tergadai kepada cukong. Jangan harap daerah bisa mengalami kemajuan bila terjadi seperti ini.
Lalu, preman-preman Pilkada juga sampai saat ini tetap menggunakan cara-cara intimidasi terhadap masyarakat pemilih melalui orang-orang atau aparat-aparat yang sering berhubungan langsung dengan pemilih. Preman-preman ini melakukan tekanan-tekanan, paksaan dan intimidasi terhadap masyarakat, mirip yang dilakukan oleh Belanda pada zaman penjajahan. Padahal, Pilkada digelar dalam masa kemerdekaan dan suasana demokrasi. Artinya, setiap gelaran Pilkada, masyarakat tidak bebas atau kembali mengalami penjajahan.
Pemilu Pilkada dalam iklim demokrasi sesunggguhnya bermakna pembebasan. Undang-undang Dasar 1945 menjamin setiap warga negara yang punya hak memilih bebas menentukan pilihan politiknya. Tanpa paksaan, tekanan, maupun intimidasi. Pilkada adalah hajatan demokrasi yang semestinya membebaskan sekaligus menggembirakan rakyat dengan harapan akan mendapatkan pemimpin daerah menuju kepada kesejahteraan. Sangat aneh bila masih terdapat oknum berperilaku bejat dalam sebuah hajatan malah memunculkan rasa takut karena melakukan tekanan dan intimidasi untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu.
Era reformasi seperti sekarang ini, praktik intimidasi tetap menjadi perilaku jahat yang masih saja menghantui masyarakat dan demokrasi itu sendiri. Serupa dengan monster yang muncul tiap kali digelar Pilkada. Seperti politik uang, keberpihakan ASN dan penguasa, penggunaan fasilitas negara dan daerah, selalu muncul di setiap gelaran Pilkada sampai tahap pencobloasan.
Pilkada dapat bercermin dalam pelaksanaan Pilpres. Rakyat dapat menyaksikan melalui media sosial bahkan mengalami sendiri intimidasi yang dilakukan yang sipatnya terstruktur. Tidak cuma masyarakat, mahasiswa, dan kelompok relawan yang yang ditekan dan diancam.
Intimidasi sudah menyentuh kepada perangkat desa, bahkan elite-elite politik yang bakal berlaga. Begitu juga dalam setiap gelaran di Pilkada. Maka, monster Pilkada itu sangat dikhawatirkan akan muncul lagi pada Pilkada 2024 yang tahapannya sedang berlangsung.
Sebagai contoh, intimidasi terhadap para kepala desa diduga kian masif dilakukan setelah pertemuan sejumlah asosiasi kades pada akhir Desember 2023 lalu. Sejumlah kades bahkan mengaku mendapatkan intimidasi secara verbal melalui pesan whatsapp dari pihak tertentu agar mau memilih pasangan tertentu. Itu salah satu bukti intimidasi dalam pemilihan yang sangat memungkinkan terjadi pula dalam Pilkada 2024.
Sekalipun berada di dalam kekuasaan, atau sedang berkuasa, bukan berarti penguasa atau preman-preman penguasa tersebut dapat seenaknya menebar narasi-narasi ancaman atau mengintimidasi pihak lawan. Karena, sesungguhnya, cara-cara itu justru menjadi ancaman terhadap demokrasi, bahkan merusak demokrasi.
Apapun bentuknya, intimidasi dan teror sangat berbahaya bagi demokrasi karena praktik itu akan menggerus kebebasan sipil. Cara-cara tersebut justru merupakan cara-cara penjajah dahulu kala untuk mendapatkan ketaatan dari rakyat jajahannya. Berbagai langkah intimidatif, apalagi bila sudah menggunakan kekerasan, pada akhirnya hanya akan membangun rasa cemas dan takut masyarakat untuk berpendapat dalam rangka mengawasi jalannya pemilihan. Jika cara ini digunakan, rakyat tidak lebih sebagai rakyat jajahan di negara merdeka yang menganut sistem pemerintahan demokrasi.
Seluruh rakyat harus sadar sesadar-sadarnya bahwa Indonesia tidak lagi hidup di era Orde Baru atau hidup di zaman penjajahan ketika penguasa dan penjajah memonopoli seluruh kebenaran. Orang-orang yang memiliki pilihan politik berbeda dengan penguasa atau yang dekat dengan penguasa ataupun didukung penguasa, tidak hanya mendapat intimidasi, tetapi teror dan bahkan siksaan kejiwaan. Kebebasan sipil tidak dihargai.
Sekarang rakyat Indonesia sampai di daerah-daerah, kini, hidup di era ketika semua elemen negeri bertekad mengoreksi berbagai kesalahan masa lalu. Sudah sepantasnya bila kita harus membuktikan mampu mempraktikkan demokrasi yang lebih baik tanpa intimidasi dan politik uang serta tanpa cara-cara preman.
Saatnya menghormati kebebasan sipil dalam bertindak, buka kebebasan sipil sebatas omongan atau kebebasan omong doang. Stop segala bentuk tekanan dan intimidasi. Jangan rusak iklim demokrasi yang kita rebut dan perjuangkan dengan susah payah, bahkan dengan air mata dan darah, dengan terus melanggengkan tindakan dengan cara-cara preman seperti itu. Jangan lagi ada preman yang menjadi pemimpin daerah.
Seluruh tim sukses ataupun relawan atau apapun namanya yang beriktiar memenangkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dijagokan, wajib menjaga agar masyarakat terbebas dari intimidasi dan bisa aman serta tenang dalam menggunakan hak pilih dalam Pilkada dan menentukan calon mana yang disukai sesuai hati nuraninya.
Pilkada dapat dikatakan sukses bila dapat ditekan sikap premanisme yang melakukan intimidasi terhadap masyarakat. Juga menjadi salah satu indikator bahwa demokrasi lokal berjalan sesuai yang diharapkan. Pilkada yang menelan biaya milyaran rupiah akan menjadi tak berguna bila dalam pelaksanannya menggunakan cara-cara preman dengan melakukan intimidasi. Sebab, kepala daerah yang terpilih nantinya merupakan pemimpin preman. Buktikan bahwa orang Bugis sangat fair dalam bertarung seperti nenek moyang dahulu kala.
Oleh karena itu, selain bersosialisasi dan berkampanye, faktor penting yang harus dilakukan tim sukses dan relawan adalah melakukan langkah-langkah penjagaan terhadap pemilih agar preman-preman di Pilkada dapat diminimalisir langkahnya. Tim dan relawan harus berusaha mendokumentasikan dalam bentuk foto atau video setiap usaha preman Pilkada tersebut dalam mengintimiidasi masyarakat. Segala upaya tim sukses dan relawan menjadi kurang berguna bilamana penjahat-penjahat demokrasi masih bergentanyangan dalam Pilkada 2024 ini. (RED)
0 Komentar