Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia dikejutkan oleh serangkaian peristiwa yang mencoreng citra demokrasi. Dua kasus kekerasan terhadap suara-suara kebenaran mencuat ke permukaan: seorang wartawan yang dianiaya hingga buta dan seorang pejuang rakyat yang dikriminalisasi dan dipenjarakan.
Kasus Wartawan yang Dianiaya: Kinerja Polisi Dipertanyakan
Ambarita, seorang wartawan di Bekasi, menjadi korban pemukulan brutal yang mengakibatkan kebutaan pada mata kirinya. Ironisnya, hingga saat ini, pelaku belum berhasil ditangkap, dan perkembangan kasus ini terkesan lambat.
Di Sumatra Utara, Tahan Purba, seorang wartawan lainnya, mengalami pengeroyokan oleh empat orang. Namun, alih-alih mendapatkan keadilan, ia justru dilaporkan balik oleh para pelaku dan kini berstatus sebagai terlapor.
Prof. Dr. Sutan Nasomal menyatakan, "Ini adalah bentuk pembungkaman terhadap fungsi kontrol pers. Jika negara tidak bertindak cepat, pesan yang dikirim ke publik adalah: 'Jangan bicara kebenaran, atau kamu akan dibungkam.'"
Kasus Aktivis Agraria: Kriminalisasi Pejuang Tanah
Yakarim Munir Lembong, seorang aktivis agraria di Aceh Singkil, kini mendekam di penjara atas laporan pidana dari sebuah perusahaan sawit, PT. Delima Makmur. Penahanan ini terjadi di tengah proses gugatan perdata yang sedang berlangsung antara Yakarim dan perusahaan tersebut. Banyak pihak menduga bahwa ini adalah upaya untuk membungkam suara kritis yang selama ini menuntut transparansi dan keadilan agraria di wilayah tersebut.
Dalam surat terbuka dari balik jeruji, Yakarim menulis, "Para pejuang yang tak pernah mati, justru sedang diadili oleh konspirasi titipan para oligarki. Kami korban dari sistem yang ingin membungkam perjuangan." Surat tersebut ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, tokoh masyarakat, media, dan seluruh rakyat Indonesia.
Seruan kepada Presiden: Jangan Biarkan Ketidakadilan Merajalela
Yakarim secara langsung memohon kepada Presiden, "Saya mohon kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk tidak menutup mata atas apa yang terjadi. Perusahaan ini telah merampas tanah rakyat dan menjadikan hukum sebagai alat untuk membungkam kami."
Kuasa hukum Yakarim, Zahrul, SH, menegaskan, "Ini murni sengketa perdata. Tidak ada alasan hukum untuk memenjarakan Yakarim. Penahanan ini adalah bentuk nyata kriminalisasi terhadap pembela hak rakyat."
Pesan yang Lebih Besar: Darurat Demokrasi
Kedua kasus ini mencerminkan wajah suram demokrasi Indonesia saat ini. Ketika rakyat bersuara, mereka dipukul. Ketika rakyat menggugat, mereka dipenjara.
Prof. Dr. Sutan Nasomal menambahkan, "Kita tidak sedang bicara soal dua kasus terpisah. Kita sedang menyaksikan pola pembungkaman yang sistemik. Wartawan dibungkam, pejuang rakyat dipenjara, dan negara memilih menjadi penonton."
Tentang Yakarim Munir Lembong
Yakarim Munir Lembong adalah anak dari Hj. Rafi’ Barus, seorang perempuan pejuang yang pernah dibuang secara politik. Ia tumbuh di pinggir Sungai Leu Cinendang, Aceh Singkil, dan menjadi simbol perjuangan akar rumput yang menolak tunduk pada korporasi rakus dan negara yang abai.
Pentingnya Solidaritas dan Gerakan Sosial
Demokrasi akan mati bukan hanya ketika tank masuk ke jalanan, tetapi juga ketika suara-suara kecil tak lagi didengar, dan kebenaran menjadi alasan untuk dipenjarakan.
Prof. Dr. Sutan Nasomal mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dan bergerak bersama demi tegaknya keadilan dan demokrasi di Indonesia.
Nara Sumber
Prof. Dr. Sutan Nasomal, SH, MH, Pakar Hukum Internasional, Ekonom, Presiden Partai Oposisi Merdeka, Jenderal Kompii, dan Pengasuh Ponpes ASS SAQWAPlus Jakarta.
Tim/Red

0 Komentar